UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
1.
bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual dalam era demokrasi ekonomi
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
2.
bahwa
pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung
tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa
yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa
yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen;
3.
bahwa semakin
terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus
tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu,
jumlah, dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar;
4.
bahwa untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya serta menumbuh kembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab;
5.
bahwa ketentuan
hukum yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai;
6.
bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut di atas diperlukan perangkat peraturan
perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan
konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat;
7.
bahwa untuk itu
perlu dibentuk Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen;
Mengingat : Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan
persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN.DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1.
Perlindungan
konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.
2.
Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan.
3.
Pelaku usaha
adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
4.
Barang adalah
setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5.
Jasa adalah
setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6.
Promosi adalah
kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa
untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan
sedang diperdagangkan.
7.
Impor barang
adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8.
Impor jasa
adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah Republik
Indonesia.
9.
Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga non-Pemerintah yang
terdaftar dan diakui oleh Pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani
perlindungan konsumen.
10.
Klausula Baku
adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan
dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan
dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
11.
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12.
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk membantu upaya
pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Perlindungan
konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
1.
meningkatkan
kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
2.
mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
3.
meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen;
4.
menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5.
menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
6.
meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah :
1.
hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
hak untuk
memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4.
hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.
hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6.
hak untuk
mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.
hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.
hak untuk
mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
9.
hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
a.
membaca atau
mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b.
beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
membayar sesuai
dengan nilai tukar yang disepakati;
d.
mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a.
hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b.
hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c.
hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
d.
hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a.
beritikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d.
menjamin mutu
barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f.
memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g.
memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
a.
tidak memenuhi
atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b.
tidak sesuai
dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c.
tidak sesuai
dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang
sebenarnya;
d.
tidak sesuai
dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan
dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
e.
tidak sesuai
dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f.
tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g.
tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
h.
tidak mengikuti
ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"
yang dicantumkan dalam label;
i.
tidak memasang
label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi
bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j.
tidak mencantumkan
informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3) Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar.
(4) Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal 9
(1) Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a.
barang tersebut
telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu
tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna
tertentu;
b.
barang tersebut
dalam keadaan baik dan/atau baru;
c.
barang dan/atau
jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu;
d.
barang dan/atau
jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau
afiliasi;
e.
barang dan/atau
jasa tersebut tersedia;
f.
barang tersebut
tidak mengandung cacat tersembunyi;
g.
barang tersebut
merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h.
barang tersebut
berasal dari daerah tertentu;
i.
secara langsung
atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j.
menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k.
menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang
dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan.
(3) Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai
:
a.
harga atau tarif
suatu barang dan/atau jasa;
b.
kegunaan suatu
barang dan/atau jasa;
c.
kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d.
tawaran potongan
harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e.
bahaya
penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha
dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/menyesatkan konsumen dengan :
a.
menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b.
menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c.
tidak berniat
untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual
barang lain;
d.
tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e.
tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud
menjual jasa yang lain;
f.
menaikkan harga
atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa
dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku
usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan
jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1) Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan
tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a.
tidak melakukan
penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b.
mengumumkan
hasilnya tidak melalui media masa;
c.
memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d.
mengganti hadiah
yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan
atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
melalui pesanan dilarang untuk :
a.
tidak menepati
pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan;
b.
tidak menepati
janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal
17
(1) Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a.
mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.
mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.
memuat informasi
yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.
tidak memuat
informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.
mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
f.
melanggar etika
dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan
dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat
(1).
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
(1) Pelaku
usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian apabila:
a.
menyatakan
pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b.
menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c.
menyatakan bahwa
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang
dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d.
menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e.
mengatur perihal
pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli
oleh konsumen;
f.
memberi hak
kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g.
menyatakan
tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h.
menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak
gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
(2) Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti
rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
(4) Pemberian
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan
kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai
adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku
usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas
iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
(1) Importir
barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi
barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
(2) Importir
jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian
terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha
yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti
rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
(1) Pelaku
usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung
jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a.
pelaku usaha
lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang
dan/atau jasa tersebut;
b.
pelaku usaha
lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang
dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai degan contoh,
mutu, dan komposisi.
(2) Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
(1) Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas
waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
(2) Pelaku
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut :
a.
tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b.
tidak memenuhi
atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha
yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang
disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha
yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen, apabila :
a.
barang tersebut
terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;
b.
cacat barang
timbul pada kemudian hari;
c.
cacat timbul
akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d.
kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen;
e.
lewatnya jangka
waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu
yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian
terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
(1) Pemerintah
bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen yang
menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan
oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Menteri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas penyelenggaraan
perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi upaya untuk :
a.
terciptanya
iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha dan konsumen;
b.
berkembangnya
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c.
meningkatnya
kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya kegiatan penelitian dan
pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pengawasan
Pasal 30
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan
perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan
oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri
dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan
oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan
terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(4) Apabila
hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri
dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(5) Hasil
pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada Menteri dan menteri teknis.
(6) Ketentuan
pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan
konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan
Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai
fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
Pasal 34
(1) Untuk
menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan Perlindungan
Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a.
memberikan saran
dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di
bidang perlindungan konsumen;
b.
melakukan
penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang perlindungan konsumen;
c.
melakukan
penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
d.
mendorong
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e.
menyebarluaskan
informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan
sikap keberpihakan kepada konsumen;
f.
menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g.
melakukan survei
yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Perlindungan
Konsumen Nasional dapat bekerja sama dengan organisasi konsumen internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
(1) Badan
Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurang-kurangnya 15 (lima belas)
orang dan sebanyak-banyaknya 25 (dua puluh lima) orang anggota yang mewakili
semua unsur.
(2) Anggota
Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia.
(3) Masa
jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya.
(4) Ketua
dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
terdiri atas unsur :
1.
pemerintah;
2.
pelaku usaha;
3.
lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
4.
akademisi; dan
5.
tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen
Nasional adalah:
a.
warga negara
Republik Indonesia;
b.
berbadan sehat;
c.
berkelakuan
baik;
d.
tidak pernah
dihukum karena kejahatan;
e.
memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f.
berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
berhenti karena:
a.
meninggal dunia;
b.
mengundurkan
diri atas permintaan sendiri;
c.
bertempat
tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia;
d.
sakit secara
terus menerus;
e.
berakhir masa
jabatan sebagai anggota; atau
f.
diberhentikan.
Pasal 39
(1) Untuk
kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibantu oleh
sekretariat.
(2) Sekretariat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3) Fungsi,
tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 40
(1) Apabila
diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk perwakilan di
Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2) Pembentukan
perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan
keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam
pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkerja berdasarkan
tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk
pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada
anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
43
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
(1) Pemerintah
mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.
(2) Lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan
aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a.
menyebarkan
informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan
kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b.
memberikan
nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c.
bekerja sama
dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
d.
membantu
konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan
konsumen;
e.
melakukan
pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan
konsumen.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 45
(1) Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian
sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan
berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
(3) Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
(4) Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 46
(1) Gugatan
atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a.
seorang konsumen
yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.
sekelompok
konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c.
lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas
bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
d.
pemerintah
dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang
tidak sedikit.
(2) Gugatan
yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c,
atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan
Pasal 47
Penyelesaian
sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa
konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan.
(2) Untuk
dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen, seseorang
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
warga negara
Republik Indonesia;
b.
berbadan sehat;
c.
berkelakuan
baik;
d.
tidak pernah
dihukum karena kejahatan;
e.
memiliki
pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f.
berusia
sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.
(3) Anggota
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota
setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3
(tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan
dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) terdiri atas :
a.
ketua merangkap
anggota;
b.
wakil ketua
merangkap anggota;
c.
anggota.
Pasal 51
(1) Badan
penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
(2) Sekretariat
badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
(3) Pengangkatan
dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan penyelesaian
sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa
konsumen meliputi:
a.
melaksanakan
penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau
arbitrase atau konsiliasi;
b.
memberikan
konsultasi perlindungan konsumen;
c.
melakukan
pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.
melaporkan
kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang
ini;
e.
menerima
pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.
melakukan
penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g.
memanggil pelaku
usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h.
memanggil dan
menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui
pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i.
meminta bantuan
penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang
sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi
panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j.
mendapatkan,
meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k.
memutuskan dan
menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l.
memberitahukan
putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
m.
menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang
ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih
lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa
konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
(1) Untuk
menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa
konsumen membentuk majelis.
(2) Jumlah
anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3) Putusan
majelis bersifat final dan mengikat.
(4) Ketentuan
teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat
keputusan menteri.
Pasal 55
Badan
penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
(1) Dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha
wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) Para
pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku
usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
(4) Apabila
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh
pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut
kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
(5) Putusan
badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(6) Merupakan
bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Putusan majelis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya
kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
(1) Pengadilan
Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak
diterimanya keberatan.
(2) Terhadap
putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah
Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
PENYIDIKAN
Pasal 59
(1) Selain
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a.
melakukan
pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen;
b.
melakukan
pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana
di bidang perlindungan konsumen;
c.
meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
d.
melakukan
pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perlindungan konsumen;
e.
melakukan
pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta melakukan
penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
f.
meminta bantuan
ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perlindungan konsumen.
(3) Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
(1) Badan
penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20,
Pasal 25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi
administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(3) Tata
cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Sanksi Pidana
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku
usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
(1) Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
(2) Pelaku
usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf
f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a.
perampasan
barang tertentu;
b.
pengumuman
keputusan hakim;
c.
pembayaran ganti
rugi;
d.
perintah
penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e.
kewajiban
penarikan barang dari peredaran; atau
f.
pencabutan izin
usaha.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan
peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada
pada saat Undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undang-undang
ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
pada tanggal 20 April 1999 pada tanggal 20 April 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENTERI NEGARA SEKENEG REPUBLIK INDONESIA
Ttd ttd
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 42
PENJELASAN
ATAS
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
I. UMUM
Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di
bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai
variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi
dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan
informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa
melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang
ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri.
Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen
karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat
terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
Di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan
kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada
pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup
keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara
penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran
konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya
pendidikan konsumen. Oleh karena itu, Undang-undang Perlindungan Konsumen
dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan
konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran
pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat
keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini
sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
Atas dasar kondisi sebagaimana dipaparkan di atas, perlu upaya
pemberdayaan konsumen melalui pembentukan undang-undang yang dapat melindungi
kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan
secara efektif di masyarakat.
Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan
usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat
mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang
tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa
yang berkualitas.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam
pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan
menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas
pelanggarannya.
Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan
mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk
pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam
rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi
negara Undang-Undang Dasar 1945.
Di samping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen pada dasarnya
bukan merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur tentang perlindungan
konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi
kepentingan konsumen, seperti :
a.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang, menjadi Undang-undang;
b.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene;
c.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah;
d.
Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal;
e.
Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan;
f.
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian;
g.
Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan;
h.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri;
i.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan;
j.
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement Establishing The World Trade
Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia);
k.
Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
l.
Undang-undang
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil;
m.
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
n.
Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Hak Cipta sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;
o.
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1989
tentang Paten;
p.
Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1989
tentang Merek;
q.
Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;
r.
Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran;
s.
Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
t.
Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan.
Perlindungan konsumen dalam hal pelaku usaha melanggar hak atas kekayaan
intelektual (HAKI) tidak diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan
Konsumen ini karena sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1997
tentang Hak Cipta, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Paten, dan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Merek, yang melarang menghasilkan
atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang melanggar ketentuan tentang
HAKI.
Demikian juga perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup tidak
diatur dalam Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini karena telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup.
Di kemudian hari masih terbuka kemungkinan terbentuknya undang-undang
baru yang pada dasarnya memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi konsumen.
Dengan demikian, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan
payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang
perlindungan konsumen.
II. PASAL
DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 2
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah
konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau
pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen
yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Angka 3
Pelaku
usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.
Angka 9
Lembaga
ini dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan
konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab
bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Angka 11
Badan ini
dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat,
murah dan profesional.
Pasal 2
Perlindungan
konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang
relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :
1.
Asas manfaat
dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas keadilan
dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal
dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3.
Asas
keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.
4.
Asas keamanan
dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas kepastian
hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
Pasal 3
Huruf g
Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status
sosial lainnya.
Pasal 7
Huruf c
Pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji
atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian.
Pasal 8
Huruf g
Jangka
waktu penggunaan/pemanfaatannya yang paling baik adalah terjemahan dari kata best
before yang biasa digunakan dalam label produk makanan.
Ayat (2)
Barang-barang
yang dimaksud adalah barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Sediaan
farmasi dan pangan yang dimaksud adalah yang membahayakan konsumen menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Menteri
dan menteri teknis berwenang menarik barang dan/atau jasa dari peredaran.
Pasal 11
Huruf d
Yang
dimaksud dengan jumlah tertentu dan jumlah yang cukup adalah
jumlah yang memadai sesuai dengan antisipasi permintaan konsumen.
Pasal 18
Ayat (1)
Larangan
ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Pasal 22
Ketentuan
ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik.
Pasal 27
Huruf b
Cacat
timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal yang mendapat jaminan dari
pelaku usaha sebagaimana diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi yang telah
ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan semua pihak.
Huruf e
Jangka
waktu yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.
Pasal 30
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan menteri teknis adalah menteri yang bertanggung jawab secara
teknis menurut bidang tugasnya.
Ayat (3)
Pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan atas barang dan/atau jasa yang beredar di pasar dengan cara
penelitian, pengujian dan/atau survei.
Aspek
pengawasan meliputi pemuatan informasi tentang risiko penggunaan barang jika
diharuskan, pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang disyaratkan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebiasaan dalam praktik
dunia usaha.
Pasal 34
Huruf e
Keberpihakan
kepada konsumen dimaksudkan untuk meningkatkan sikap peduli yang tinggi
terhadap konsumen (wise consumerism).
Pasal 35
Ayat (1)
Jumlah
wakil setiap unsur tidak harus sama.
Pasal 36
Huruf d
Akademisi
adalah mereka yang berpendidikan tinggi dan anggota perguruan tinggi.
Huruf e
Tenaga
ahli adalah mereka yang berpengalaman di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 38
Huruf d
Sakit
secara terus menerus sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya.
Pasal 40
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 41
Yang
dimaksud dengan dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen
Nasional adalah keputusan yang ditetapkan berdasarkan musyawarah anggota.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan memenuhi syarat, antara lain, terdaftar dan diakui serta
bergerak di bidang perlindungan konsumen.
Ayat (2)
Penyelesaian
sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan
penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap
diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang
bersengketa.
Yang
dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan
oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa
melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf b
Undang-undang
ini mengakui gugatan kelompok atau class action.
Gugatan
kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar
dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah
adanya bukti transaksi.
Huruf d
Tolok ukur
kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai
adalah besar dampaknya terhadap konsumen.
Pasal 47
Bentuk
jaminan yang dimaksud dalam hal ini berupa pernyataan tertulis yang menerangkan
bahwa tidak akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen
tersebut.
Pasal 49
Ayat (3)
Unsur
konsumen adalah lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau
sekelompok konsumen.
Pasal 54
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan
penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi.
Pasal 65
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
3821