UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ,
Menimbang :
a. bahwa
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, penyelesaian sengketa
perdata di samping dapat diajukan ke peradilan umum juga terbuka kemungkinan
diajukan melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa;
b. bahwa
peraturan perundang-undangan yang kini berlaku untuk penyelesaian sengketa
melalui arbitrase sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia usaha dan
hukum pada umumnya;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b, perlu
membentuk Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
Mengingat :
1. Pasal
5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2951); Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG ARBITRASE DAN
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa.
2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut hukum perdata
maupun hukum publik.
3. Perjanjian
arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,
atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.
4. Pengadilan
Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal
termohon.
5. Pemohon
adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase.
6. Termohon
adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
7. Arbiter
adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau
yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri
atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu
yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
8. Lembaga
Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk
memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat
memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam
hal belum timbul sengketa.
9. Putusan
Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia , atau putusan suatu lembaga arbitrase
atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan
arbitrase internasional.
10. Alternatif
Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Pasal 2
Undang-undang
ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam
suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara
tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang
mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara
arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
Pasal 3
Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat
dalam perjanjian arbitrase.
Pasal 4
(1) Dalam
hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka
arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para
pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
(2) Persetujuan
untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam
hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk
pertukaran surat ,
maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana
komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para
pihak.
Pasal 5
(1) Sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa
yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut
peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 6
(1) Sengketa
atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
(2) Penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh
para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya
dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam
hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat
diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda
pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun
melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat
ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau
mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi
sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk
menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu paling lama
7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan memegang
teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak
yang terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai dilaksanakan
dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
(9) Apabila
usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6)
tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis
dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase
ad–hoc.
BAB III
SYARAT ARBITRASE, PENGANGKATAN ARBITER,
DAN HAK INGKAR
Bagian Pertama
Syarat Arbitrase
Pasal 7
Pasal 8
(1) Dalam
hal timbul sengketa, pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail
atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan
oleh pemohon atau termohon berlaku.
(2) Surat pemberitahuan untuk
mengadakan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas :
a. nama
dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau
perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi
sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut,
apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para
pihak tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian semacam
itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki
dalam jumlah ganjil.
Pasal 9
(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian
sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut
harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para
pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat
menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian
tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para
pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter
atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase
akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang
bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian
sengketa melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
Pasal 10
Suatu
perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan tersebut di
bawah ini :
a. meninggalnya
salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. inovasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya
perikatan pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanji an
tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan
perjanjian arbitrase tersebut; atau h. berakhirnya atau batalnya perjanjian
pokok.
Pasal 11
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase
tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan
melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini.
Bagian Kedua
Syarat Pengangkatan Arbiter
Pasal 12
(1) Yang
dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter harus memenuhi syarat :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga
sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak
bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial
atau kepentingan lain atas putusan arbitrase; dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai
secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat
peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Pasal 13
(1) Dalam hal para pihak tidak dapat mencapai
kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai
pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis
arbitrase.
(2) Dalam suatu arbitrase ad–hoc bagi setiap
ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang
arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Pasal 14
(1) Dalam
hal para pihak telah bersepakat bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan
diputus oleh arbiter tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan
tentang pengangkatan arbiter tunggal.
(2) Pemohon
dengan surat
tercatat, telegram, teleks, faksimili, email atau dengan buku ekspedisi
harus mengusulkan kepada pihak termohon nama orang yang dapat diangkat sebagai
arbiter tunggal.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 14 (empat
belas) hari setelah termohon menerima usul pemohon sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter tunggal, atas permohonan
dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter
tunggal.
(4) Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat
arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak, atau
yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34, dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun keberatan yang diajukan
oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.
Pasal 15
(1) Penunjukan dua orang arbiter oleh para
pihak memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan menunjuk
arbiter yang ketiga.
(2) Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diangkat sebagai ketua majelis arbitrase.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak menunjuk seseorang yang
akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter yang ditunjuk oleh pihak
lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal dan putusannya mengikat kedua
belah pihak.
(4) Dalam hal kedua arbiter yang telah
ditunjuk masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berhasil
menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah
arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu pihak, Ketua Pengadilan
Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
(5) Terhadap pengangkatan arbiter yang
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),
tidak dapat diajukan upaya pembatalan.
Pasal 16
(1) Arbiter yang ditunjuk atau diangkat dapat
menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut.
(2) Penerimaan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), wajib diberitahukan secara tertulis kepada para pihak dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal penunjukan atau
pengangkatan.
Pasal 17
(1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau
beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut
oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis, maka antara pihak
yang menunjuk dan arbiter yang menerima penunjukan terjadi suatu perjanjian
perdata.
(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan
putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti yang
telah diperjanjikan bersama.
Pasal 18
(1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh
salah satu pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan kepada
para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya atau
menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(2) Seseorang
yang menerima penunjukan sebagai arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
harus memberitahukan kepada para pihak mengenai penunjukannya.
Pasal 19
(1) Dalam hal arbiter telah menyatakan
menerima penunjukan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, maka
yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan para
pihak.
(2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan, menyatakan
menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat menyetujui
permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka yang
bersangkutan, dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri tidak
mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan oleh Ketua
Pengadilan Negeri.
Pasal 20
Dalam
hal arbiter atau majelis arbitrase tanpa alasan yang sah tidak memberikan
putusan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk
mengganti biaya dan kerugian yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada
para pihak.
Pasal 21
Arbiter
atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas
segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat
dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut.
Bagian Ketiga
Hak Ingkar
Pasal 22
(1) Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan
ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang menimbulkan
keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara bebas dan akan
berpihak dalam mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter
dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan, keuangan
atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
Pasal 23
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal
diajukan kepada arbiter yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis
arbitrase diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan.
Pasal 24
(1) Arbiter yang diangkat tidak dengan
penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru
diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan arbiter
yang bersangkutan.
(2) Arbiter yang diangkat dengan penetapan
pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya setelah adanya
penerimaan penetapan pengadilan tersebut.
(3) Pihak yang berkeberatan terhadap
penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lain, harus mengajukan tuntutan
ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak pengangkatan.
(4) Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus diajukan
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya hal tersebut.
(5) Tuntutan ingkar harus diajukan secara
tertulis, baik kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan dengan
menyebutkan alasan tuntutannya.
(6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan
oleh salah satu pihak disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan
harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai
dengan cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 25
(1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan
oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang bersangkutan
tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan dapat mengajukan
tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya mengikat kedua pihak,
dan tidak dapat diajukan perlawanan.
(2) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri
memutuskan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beralasan, seorang
arbiter pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku untuk
pengangkatan arbiter yang digantikan.
(3) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri menolak
tuntutan ingkar, arbiter melanjutkan tugasnya.
Pasal 26
(1) Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan
dengan meninggalnya arbiter dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan oleh
penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan Undang-undang ini.
(2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana
terbukti berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan melalui jalur
hukum.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa
berlangsung, arbiter meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri, sehingga
tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang arbiter pengganti akan diangkat
dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan arbiter yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal seorang arbiter tunggal atau
ketua majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan harus diulang
kembali.
(5) Dalam hal anggota majelis yang diganti,
pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali secara tertib antar arbiter.
BAB IV
ACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN MAJELIS ARBITRASE
Bagian Pertama
Acara Arbitrase
Pasal 27
Semua
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup.
Pasal 28
Bahasa
yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia , kecuali atas persetujuan arbiter atau
majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan.
Pasal 29
(1) Para
pihak yang bersengketa mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam
mengemukakan pendapat masing-masing.
(2) Para pihak yang bersengketa dapat
diwakili oleh kuasanya dengan surat
kuasa khusus.
Pasal 30
Pihak
ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri
dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan
yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa
serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa
yang bersangkutan.
Pasal 31
(1) Para
pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan
acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Dalam hal para pihak tidak menentukan
sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan dalam pemeriksaan,
dan arbiter atau majelis arbitr ase telah terbentuk sesuai dengan Pasal 12,
Pasal 13, dan Pasal 14, semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan kepada
arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam
Undang-undang ini.
(3) Dalam hal para pihak telah memilih acara
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan mengenai
ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka
waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase
yang akan menentukan.
Pasal 32
(1) Atas permohonan salah satu pihak,
arbiter atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan
sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk
penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga,
atau menjual barang yang mudah rusak.
(2) Jangka waktu pelaksanaan putusan
provisionil atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
Pasal 33
Arbiter
atau majelis arbitrase berwenang untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya
apabila :
a. diajukan permohonan oleh salah satu
pihak mengenai hal khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan
provisionil atau putusan sela lainnya; atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau
majelis arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.
Pasal 34
(1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau internasional
berdasarkan kesepakatan para pihak.
(2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan dan
acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para pihak.
Pasal 35
Arbiter
atau majelis arbitrase dapat memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti
disertai dengan terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
Pasal 36
(1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase
harus dilakukan secara tertulis.
(2) Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan
apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 37
(1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter
atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.
(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat
mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu pada tempat
tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.
(3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli
dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut ketentuan
dalam hukum acara perdata.
(4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat
mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal lain
yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal dianggap
perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir dalam
pemeriksaan tersebut.
Pasal 38
(1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat tuntutannya kepada arbiter atau majelis
arbitrase.
(2) Surat
tuntutan tersebut harus memuat sekurang-kurangnya :
a. nama lengkap dan tempat tinggal atau
tempat kedudukan para pihak;
b. uraian singkat tentang sengketa disertai
dengan lampiran bukti-bukti; dan isi tuntutan yang jelas.
Pasal 39
Setelah
menerima surat tuntutan dari pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase
menyampaikan satu salinan tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai
perintah bahwa termohon harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara
tertulis dalam waktu paling lama 14 ( empat belas ) hari sejak diterimanya
salinan tuntutan tersebut oleh termohon.
Pasal 40
(1) Segera setelah diterimanya jawaban dari
termohon atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan jawaban tersebut
diserahkan kepada pemohon.
(2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua
majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka menghadap di
muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat belas) hari
terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.
Pasal 41
Dalam
hal termohon setelah lewat 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 tidak menyampaikan jawabannya, termohon akan dipanggil dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2).
Pasal 42
(1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya
pada sidang pertama, termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan terhadap
tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk menanggapi.
(2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis arbitrase
bersama-sama dengan pokok sengketa.
Pasal 43
Apabila
pada hari yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) pemohon
tanpa suatu alasan yang sah btidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil
secara patut, surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis
arbitrase dianggap selesai.
Pasal 44
(1) Apabila pada hari yang telah ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa suatu alasan sah
tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut,
arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan pemanggilan sekali lagi.
(2) Paling lama 10 (sepuluh) hari setelah
pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang
menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya
termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan
tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
Pasal 45
(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada
hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih dahulu mengusahakan
perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase membuat suatu
akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan memerintahkan para pihak
untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
Pasal 46
(1) Pemeriksaan
terhadap pokok sengketa dilanjutkan apabila usaha perdamaian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) tidak berhasil.
(2) Para
pihak diberi kesempatan terakhir kali untuk menjelaskan secara tertulis
pendirian masing-masing serta mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk
menguatkan pendiriannya dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau
majelis arbitrase.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak
meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara tertulis,
dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu yang
ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 47
(1) Sebelum ada jawaban dari termohon,
pemohon dapat mencabut surat
permohonan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase.
(2) Dalam hal sudah ada jawaban dari
termohon, perubahan atau penambahan surat
tuntutan hanya diperbolehkan dengan persetujuan termohon dan sepanjang
perubahan atau penambahan itu menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak
menyangkut dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan.
Pasal 48
(1) Pemeriksaan atas sengketa harus
diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.
(2) Dengan persetujuan para pihak dan apabila
diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diperpanjang.
Bagian Kedua
Saksi dan Saksi Ahli
Pasal 49
(1) Atas perintah arbiter atau majelis
arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi atau
lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.
(2) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi
atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.
(3) Sebelum memberikan keterangan, para saksi
atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah.
Pasal 50
(1) Arbiter atau majelis arbitrase dapat
meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan tertulis
mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa.
(2) Para
pihak wajib memberikan segala keterangan yang diperlukan oleh para saksi ahli.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase meneruskan
salinan keterangan saksi ahli tersebut kepada para pihak agar dapat ditanggapi secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas,
atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang bersangkutan
dapat didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan dihadiri oleh para
pihak atau kuasanya.
Pasal 51
Terhadap
kegiatan dalam pemeriksaan dan sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan
oleh sekretaris.
BAB V
PENDAPAT DAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 52
Pasal 53
Terhadap
pendapat yang mengikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat
dilakukan perlawanan melalui upaya hukum apapun.
Pasal 54
(1) Putusan arbitrase harus memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter
atau majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal
terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis
arbitrase.
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase
oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi
kekuatan berlakunya putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda tangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam putusan.
(4) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka
waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
Pasal 55
Apabila
pemeriksaan sengketa telah selesai, pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan
hari sidang untuk mengucapkan putusan arbitrase.
Pasal 56
(1) Arbiter atau majelis arbitrase mengambil
putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan dan kepatutan.
(2) Para
pihak berhak menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian
sengketa yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.
Pasal 57
Putusan
diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan
ditutup.
Pasal 58
Dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan diterima, para pihak
dapat mengajukan permohonan kepada arbiter atau majelis arbitrase untuk
melakukan koreksi terhadap
kekeliruan
administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Bagian Pertama
Arbitrase Nasional
Pasal 59
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada
bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan
arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan
putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya
kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
(5) Semua biaya yang berhubungan dengan
pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Pasal 60
Putusan
arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para
pihak.
Pasal 61
Dalam
hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan
dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah
satu pihak yang bersengketa.
Pasal 62
(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan
eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5, serta
tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri
menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan
Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pasal 63
Perintah
Ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan
arbitrase yang dikeluarkan.
Pasal 64
Putusan
arbitrase yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan
sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Bagian Kedua
Arbitrase Internasional
Pasal 65
Yang
berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 66
Putusan
Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum
Republik Indonesia , apabila memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara
Indonesia terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
Putusan Arbitrase Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan
hukum Indonesia termasuk
dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak
bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia
setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia
sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah
memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pasal 67
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh
arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2) Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan :
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan
Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing,
dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik
perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal
otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia ; dan c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di
negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yang
menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral
maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan
pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Pasal 68
(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang mengakui dan
melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat diajukan banding atau
kasasi.
(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang menolak untuk
mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase Internasional, dapat diajukan
kasasi.
(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta
memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah permohonan kasasi
tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
Pasal 69
(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, maka pelaksanaan
selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif
berwenang melaksanakannya.
(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta
kekayaan serta barang milik termohon eksekusi.
(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan
putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.
BAB VII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 70
Terhadap
putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila
putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan,
diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 71
Permohonan
pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran
putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 72
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat
pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat
diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan serta
memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima
oleh Mahkamah Agung.
BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Pasal 73
Tugas
arbiter berakhir karena :
a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah lampau;
atau
c. para pihak sepakat untuk menarik
kembali penunjukan arbiter.
Pasal 74
(1) Meninggalnya salah satu pihak tidak
mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak meninggalnya
salah satu pihak.
Pasal 75
(1) Dalam hal arbiter meninggal dunia,
dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih arbiter,
para pihak harus mengangkat arbiter pengganti.
(2) Apabila para pihak dalam waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan arbiter
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua Pengadilan Negeri
atas permintaan dari pihak yang berkepentingan, mengangkat seorang atau lebih
arbiter pengganti.
(3) Arbiter pengganti bertugas melanjutkan
penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan terakhir yang
telah diadakan.
BAB IX
BIAYA ARBITRASE
Pasal 76
(1) Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
meliputi :
a. honorarium arbiter;
b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang
dikeluarkan oleh arbiter;
c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang
diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan
d. biaya administrasi.
Pasal 77
(1) Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak
yang kalah.
(2) Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan
sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
Sengketa
yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diajukan kepada arbiter
atau lembaga arbitrase tetapi belum dilakukan pemeriksaan, proses
penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 79
Sengketa
yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diperiksa tetapi belum
diputus, tetap diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lama.
Pasal 80
Sengketa
yang pada saat Undang-undang ini mulai berlaku sudah diputus dan putusannya
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan
Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Pada
saat Undang-undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement
op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia
Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44)
dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 82
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia .
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal 12 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK
ttd
BACHARUDDIN JUSUF
HABIBIE
Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 12 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA ,
ttd
M U L A D I
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 138
PENJELASAN
ATAS
UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 1999
TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
UMUM
Penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada
Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar
dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang masing-masing
diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Di
dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan
antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Selama
ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal
615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan
Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).
Pada
umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga
peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
;
b. dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang
yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan
hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase; dan e. putusan arbiter
merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara ( prosedur
) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada
kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di
negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase.
Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya
karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa
melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk
kontrak bisnis bersifat internasional.
Dengan
perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan
baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka
peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai
lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang
yang
bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan
hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik secara
filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
Arbitrase
yang diatur dalam Undang-undang ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di
luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang
bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase,
melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya
oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata
sepakat
mereka.
Hal
ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian sengketa melalui
arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan proses pengadilan negeri
dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan
kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka
upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali.
Dalam
rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang -undang ini memuat
ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional maupun internasional.
Bab
VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu
paket, agar Undang-undang ini dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan
putusan, baik yang menyangkut masalah arbitrase nasional maupun internasional
dan hal ini secara sistem hukum dibenarkan.
Bab
VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena
beberapa hal, antara lain :
a. surat
atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui
palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan
dokumen yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan
pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan
terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan
banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Selanjutnya
pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara
lain bahwa tugas arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah
lampau atau kedua belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter.
Meninggalnya salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan
kepada arbiter berakhir.
Bab
IX dari Undang-undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase yang ditentukan
oleh arbiter.
Bab
X dari Undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa
yang sudah diajukan namun belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses
atau yang sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan
dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini maka Pasal
615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan
Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup
jelas
Pasal 2
Cukup
jelas
Pasal 3
Cukup
jelas
Pasal 4
Cukup
jelas
Pasal 5
Cukup
jelas
Pasal 6
Cukup
jelas
Pasal 7
Cukup
jelas
Pasal 8
Cukup
jelas
Pasal 9
Cukup
jelas
Pasal 10
huruf
a
Cukup
jelas
huruf
b
Cukup
jelas
huruf
c
Yang
dimaksud dengan "novasi" adalah pembaharuan utang.
huruf
d
Yang
dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu membayar.
huruf
e
Cukup
jelas
huruf
f
Cukup
jelas
huruf
g
Cukup
jelas
huruf
h
Cukup
jelas
Pasal
11
Cukup
jelas
Pasal 12
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Tidak
dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini menjadi arbiter, dimaksudkan
agar terjamin adanya obyektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan
oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 13
Ayat
(1)
Dengan
adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa dalam praktek akan terjadi jalan
buntu apabila para pihak di dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik
dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 14
Cukup
jelas
Pasal 15
Cukup
jelas
Pasal 16
Cukup
jelas
Pasal 17
Cukup
jelas
Pasal 18
Cukup
jelas
Pasal 19
Cukup
jelas
Pasal 20
Cukup
jelas
Pasal 21
Cukup
jelas
Pasal 22
Cukup
jelas
Pasal 23
Cukup
jelas
Pasal 24
Ayat
(1)
Sebelum
mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah memperhitungkan adanya kemungkinan
yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak ingkar. Namun apabila arbiter tersebut
tetap diangkat oleh para pihak, maka para pihak dianggap telah sepakat untuk
tidak menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang mereka ketahui ketika
mengangkat arbiter tersebut. Namun ini tidak menutup kemungkinan munculnya
fakta-fakta baru yang tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak
kepada para pihak untuk mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta baru tersebut.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Dalam
ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar dan jangka waktunya. Jangka
waktu ini dipandang perlu agar tidak sewaktu-waktu dapat dihambat dengan adanya
tuntutan ingkar.
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Ayat
(6)
Cukup
jelas
Pasal 25
Ayat
(1)
Putusan
Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar mengikat kedua belah pihak dan
putusan tersebut bersifat final dan tidak ada upaya perlawanan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Pasal 26
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Ayat
(5)
Jika
hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti, pemeriksaan dapat diteruskan
berdasarkan berita acara dan surat
yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada.
Pasal 27
Ketentuan
bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara
perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk
umum. Hal ini untuk lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase.
Pasal 28
Cukup
jelas
Pasal
29
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Sesuai
dengan ketentuan umum mengenai acara perdata, diberikan kesempatan kepada para
pihak untuk menunjuk kuasa dengan surat
kuasa yang bersifat khusus.
Pasal 30
Cukup
jelas
Pasal 31
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Pasal 32
Cukup
jelas
Pasal
33
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan "hal khusus tertentu" misalnya karena adanya gugatan
antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa seperti permohonan
jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Perdata.
Huruf
b
Cukup
jelas
Huruf
c
Cukup
jelas
Pasal 34
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Ayat
ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih peraturan dan acara
yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa antara mereka, tanpa harus mempergunakan
peraturan dan acara dari lembaga arbitrase yang dipilih.
Pasal 35
Cukup
jelas
Pasal 36
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Pada
prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis. Jika ada persetujuan para
pihak, pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan.
Juga
keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, dapat berlangsung
secara lisan apabila dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 37
Ayat
(1)
Ketentuan
mengenai tempat arbitrase ini adalah penting terutama apabila terdapat unsur
hukum asing dan sengketa menjadi suatu sengketa hukum perdata internasional.
Seperti lazimnya tempat arbitrase dilakukan dapat menentukan pula hukum yang
harus dipergunakan untuk memeriksa sengketa tersebut jika para pihak tidak menentukan
sendiri maka arbiter yang dapat menentukan tempat arbitrase.
Ayat
(2)
Dalam
ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk mendengar saksi di tempat lain dari
tempat diadakan arbitrase, antara lain berhubung dengan tempat tinggal saksi
bersangkutan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Cukup
jelas
Pasal 38
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Salinan
perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran.
Huruf
c
Isi
tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa uang, harus disebutkan
jumlahnya yang pasti.
Pasal 39
Cukup
jelas
Pasal 40
Cukup
jelas
Pasal 41
Cukup
jelas
Pasal 42
Ayat
(1)
Pasal
ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang diajukan oleh pihak termohon.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 43
Sesuai
dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur apabila pemohon tidak datang
menghadap pada hari pemeriksaan pertama.
Pasal 44
Cukup
jelas
Pasal 45
Cukup
jelas
Pasal 46
Cukup
jelas
Pasal 47
Cukup
jelas
Pasal 48
Ayat
(1)
Penentuan
jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagai jangka waktu bagi arbiter
menyelesaikan sengketa bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk menjamin kepastian
waktu penyelesaian pemeriksaan arbitrase.
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Pasal 49
Cukup
jelas
Pasal 50
Cukup
jelas
Pasal 51
Cukup
jelas
Pasal 52
Tanpa
adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang
diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu
pendapat yang mengikat (binding opinion) mengenai suatu persoalan
berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan
yang kurang jelas, penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan
dengan timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh
lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu
pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar
perjanjian.
Pasal 53
Cukup
jelas
Pasal 54
Cukup
jelas
Pasal 55
Cukup
jelas
Pasal 56
Ayat
(1)
Pada
dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter
dalam memutus perkara wajib berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa
keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono). Dalam hal arbiter diberi
kebebasan untuk memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka
peraturan perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal
tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak
dapat disimpangi oleh arbiter. Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk
memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat
memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana dilakukan oleh
hakim.
Ayat
(2)
Pasal 57
Cukup
jelas
Pasal 58
Yang
dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan administratif" adalah
koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam
penulisan nama, alamat para pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak
mengubah substansi putusan. Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi
tuntutan" adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap
putusan apabila putusan, antara lain:
a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak
dituntut oleh pihak lawan;
b. tidak memuat satu atau lebih hal yang
diminta untuk diputus; atau
c. mengandung ketentuan mengikat yang
bertentangan satu sama lainnya.
Pasal 59
Cukup
jelas
Pasal 60
Putusan
arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan
banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Pasal 61
Cukup
jelas
Pasal 62
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Cukup
jelas
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Tidak
diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan
Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan
mengikat.
Pasal 63
Cukup
jelas
Pasal 64
Cukup
jelas
Pasal 65
Cukup
jelas
Pasal 66
Huruf
a
Cukup
jelas
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah
kegiatan-kegiatan antara lain di bidang :
-
perniagaan;
-
perbankan;
-
keuangan;
-
penanaman
modal;
-
industri;
-
hak kekayaan
intelektual.
Huruf
c
Cukup
jelas
Huruf
d
Suatu
Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).
Huruf
e
Cukup
jelas
Pasal 67
Cukup
jelas
Pasal 68
Cukup
jelas
Pasal 69
Cukup
jelas
Pasal 70
Permohonan
pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah
didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut
dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan
menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka
putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim
untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Pasal 71
Cukup
jelas
Pasal 72
Ayat
(1)
Cukup
jelas
Ayat
(2)
Ketua
Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan pembatalan jika
diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari pembatalan seluruhnya atau
sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan.
Ketua
Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter
yang sama atau arbiter lain akan memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau
menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
Ayat
(3)
Cukup
jelas
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan "banding" adalah hanya terhadap pembatalan putusan
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
70.
Ayat
(5)
Cukup
jelas
Pasal 73
Cukup
jelas
Pasal 74
Cukup
jelas
Pasal 75
Cukup
jelas
Pasal 76
Cukup
jelas
Pasal 77
Cukup
jelas
Pasal 78
Cukup
jelas
Pasal 79
Cukup
jelas
Pasal 80
Cukup
jelas
Pasal 81
Cukup
jelas
Pasal 82
Cukup
jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3872
Tidak ada komentar:
Posting Komentar