Kamis, 02 Juni 2011

KEDUDUKAN DAN PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA


Oleh
Budi Parmono 
ABSTRAK
Dalam sistem peradilan pidana (SPP), posisi sengketa konsumen dapat dipahami bermula dari barang atau jasa yang ditransaksikan “tidak laik”. Berkaitan dengan upaya penyelesaian menggunakan sarana pidana, sengketa konsumen tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yakni: a) Sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip primair; dan b)  Sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair. Untuk sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip primair, maka BPSK hanya bertindak sebagai pelapor. Sementara, terhadap sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair, maka BPSK dapat  bertindak sebagai quasi-penyelidik yamg melakukan quasi-penyelidikan. Kata Kunci:  sistem peradilan pidana, sengketa konsuimen, BPSK PendahuluanSistem peradilan pidana (Criminal Justice System) harus dibedakan dengan proses peradilan pidana (Criminal Justice Process) (Loebby Loqman, 2002: 12). Proses peradilan pidana diawali sejak adanya orang yang diduga kuat telah melakukan tindak pidana sampai dengan orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Selama proses berlangsung, tahap demi tahap harus dilalui dan dilaksanakan secara berurutan dan terpola. Masing-masing tahap diperlengkapi dengan alat paksa tertentu agar menjadi lebih efektif dan lebih lancar, seperti : penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, menghadirkan dengan paksa, dan lain lain.Berlainan dengan proses peradilan pidana, sistem peradilan pidana lebih terfokus pada pembahasan pelbagai institusi sebagai komponen dalam proses peradilan pidana, termasuk  kewenangan-kewajibannya, serta hubungannya antara satu institusi dengan institusi yang lain untuk mencapai satu tujuan tertentu (Geoffrey P. Alpert, 1985: 11).  Berdasarkan KUHAP jo. UU No. 8 Tahun 1981, ada beberapa tahapan yang melibatkan pelbagai institusi. Dalam tahap penyelidikan, institusi yang berperan adalah kepolisian Republik Indonesia bersama institusi lain. Begitu pula dalam tahap penyidikan, kepolisian RI memegang posisi sentral sebagai koordinator dibantu oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan yang lainnya. Kejaksaan Republik Indonesia bertindak selaku penuntut umum dalam tahap penuntutan yang mewakili negara dan masyarakat vis-a-vis tersangka/terdakwa/terpidana. Pengadilan merupakan institusi tunggal yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dalam tahap pemeriksaan di muka sidang. Akhirnya dalam tahap pembinaan pelanggar hukum, lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan lembaga-lembaga lain yang ditunjuk melakukan pembinaan terhadap narapidana.Institusi-institusi sebagaimana disebut di muka satu sama lainnya saling berhubungan dan bergantungan; dengan perkataan lain, yang satu dengan yang lainnyatidak mungkin dipisahkan, walaupun dapat dibedakan. Kejaksaan RI tidak dapat melakukan penuntutan dengan berhasil, tanpa didahului dengan penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian RI secara jujur dan tepat sasaran. Begitu juga seterusnya, pengadilan hanya dapat memeriksa, mengadili dan memutus dengan benar dan adil bilamana penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan prosedur peraturan yang berlaku. Hal yang sama berlaku pula untuk Lapas. Keseluruhan ini dimaksudkan untuk mencapai satu tujuan, yakni : meminimalkan kuantitas dan kualitas kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat.          Di samping yang dicantumkan dan diatur dalam  KUHAP jo. UU No. 8 Tahun 1981, ada juga institusi-institusi khusus berdasarkan undang-undang dilibatkan sebagai penyelidik, penyidik dan bahkan penuntut dalam sistem peradilan pidana yang dicantumkan dan diatur diluar KUHAP jo. UU No. 8 Tahun 1981. Sebagai salah satu contohnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dicantumkan dan diatur UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi ini diberi wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi.Dalam bidang Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengamanatkan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang diberi wewenang dan diikutsertakan dalam menyelesaikan setiap sengketa (Dispute) antara pelaku usaha dengan konsumen. Penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen tersebut (untuk selanjutnya akan disingkat menjadi penyelesaian sengketa konsumen) berlangsung melewati 2 (dua) jalur, yaitu : pertama, Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan (Out of court settlement) dan, kedua, Penyelesaian sengketa konsumen  melalui pengadilan (Court settlement). Kedua penyelesaian sengketa konsumen ini, sepanjang berkaitan dengan sistem peradilan pidana, memerlukan elaborasi lebih lanjut. Adapun elaborasi dimaksud  untuk menjawab masalah-masalah, sebagai berikut : a. Bilamana sengketa konsumen dikategorikan menjadi perkara pidana sehingga penyelesaiannya mulai bersinggungan dengan institusi-institusi dalam sistem peradilan pidana ?b. Bagaimana keterlibatan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam penyelesaian sengketa konsumen dari perspektif sistem peradilan pidana ? Prinsip   Primair   dan   Prinsip   Subsidair   dalam   Sengketa  Konsumen  dari Perspektif Sistem Peradilan PidanaPada dasarnya, sengketa konsumen bermula dari barang atau jasa yang ditransaksikan “tidak laik”. Barang atau jasa yang ditransaksikan di sini dapat berarti luas, meliputi : barang atau jasa yang diproduksi, diperdagangkan, ditawarkan, dipromosikan, diiklankan dan lain-lain sebagaimana dicantumkan dan diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Barang atau jasa yang ditransaksikan “tidak laik” dapat dibedakan dalam 2 (dua) kelompok, yakni : 1. Barang atau jasa yang membahayakan atau merugikan dengan sendirinya (Items inherently dangerous or injury); dan 2. Barang atau jasa yang berpotensi membahayakan atau merugikan karena cacat-cacatnya (Items potentially dangerous or injury due to it’s defectives). (Larry Alexander and Emily Sherwin, 2001: 164Barang atau jasa yang membahayakan atau merugikan dengan sendirinya  adalah barang atau jasa yang ditransaksikan dengan sengaja atau sepatutnya dapat diduga dapat menimbulkan bahaya atau merugikan secara langsung dan seketika; dengan perkataan lain, barang atau jasa tersebut nyata-nyata memang berbahaya atau merugikan. Barang atau jasa yang ditransaksikan seperti ini, antara lain, barang-barang yang sangat mudah meledak (high explosive), barang-barang mengandung racun (poison), barang-barang yang mengandung bahan-bahan ketergantungan yang sangat tinggi (high addictive), alat-alat tranportasi yang secara teknis “tidak laik” jalan, terbang atau berlayar, serta membeli barang hasil pencurian untuk dijual kembali kepada konsumen yang beritikad baik (fencing), dan lain-lain.Lain halnya dengan barang atau jasa yang dikemukakan di atas,  barang atau jasa yang berpotensi membahayakan atau merugikan karena cacat-cacatnya meliputi barang atau jasa yang ditransaksikan dengan sengaja atau sepatutnya dapat diduga berpotensi dapat menimbulkan bahaya atau merugikan karena ada cacat-cacat yang melekat padanya; dengan perkataan lain, benda atau jasa tersebut mengandung cacat-cacat sehingga secara tidak langsung dan/atau dalam tenggang waktu tertentu akan berbahaya atau menimbulkan merugikan bagi yang memperoleh manfaat darinya. Perlu kiranya ditambahkan di sini, bahwa cacat-cacat di sini terdiri dari cacat fisik (physical defective) dan cacat yuridis (legal defective).Yang dimaksud dengan cacat fisik, yakni antara lain : barang dengan bahan-bahan yang tercemar, barang bekas dan barang dengan bentuk serta disain yang rusak. Sedangkan cacat yuridis ialah barang atau jasa yang tidak memenuhi standar/syarat minimal sebagaimana ditetapkan dan ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, barang atau jasa yang berpotensi membahayakan atau merugikan karena cacat-cacatnya dapat digolongkan ke dalam : kesatu, barang atau jasa yang berpotensi membahayakan atau merugikan disebabkan cacat fisik dan, kedua, barang atau jasa yang berpotensi membahayakan atau merugikan dikarenakan cacat yuridis. Contoh-contoh dari barang atau jasa yang disebut kesatu, misalnya, mainan anak balita yang terbuat dari karet/plastik yang membahayakan kesehatannya, pakaian anak-anak yang dibuat dari bahan yang mudah terbakar, kendaraan bermotor yang disain kontruksinya tidak aman, dan sebagainya. Contoh-contoh dari barang atau jasa yang dimaksud kedua, antara lain, makanan yang tidak mencantumkan masa kadaluarsa, rokok yang tidak mencantumkan peringatan bahayanya, pemberian hadiah atas pembelian barang yang tidak mencantumkan batas waktunya, dan seterusnya seperti yang didapati dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di samping hal-hal yang telah diuraikan di atas, ada baiknya pula menyinggung masalah bahaya dan kerugian yang diderita konsumen. Menurut Robert E Meier (1989: 267-270)  bahaya dan/atau kerugian dapat dipisahkan menjadi 3 (tiga)  kelompok, yakni:1. Kerusakan secara fisik (Physical harm), antara lain, sakit, luka, cacat tetap dan kematian. 2. Kerugian  secara  finansial  (Financial  injury). Maksudnya, kerugian dalam harta kekayaan, khususnya diukur dengan uang.   3. Beban-kerugian  masyarakat  berhubungan dengan suasana moral (Social  Costs or Damage to Moral climate), yakni hilangnya rasa percaya (distrust) masyarakat/konsumen terhadap barang atau jasa yang ditransaksikan “tidak laik” dan hilangnya rasa patuh (disobedience) pelaku usaha terhadap aparat hukum yang tidak berkemauan dan berkemampuan bertindak tegas.Menurut  hemat  penulis,  berkaitan dengan  sengketa  konsumen  yang   berasal  dari :(a) barang atau jasa yang ditransaksikan memang nyata-nyata berbahaya menimbulkan kerusakan fisik; atau (b) barang atau jasa yang ditransaksikan berpotensi berbahaya menimbulkan kerusakan     fisik disebabkan cacat-cacatnya jika ternyata kerusakan fisik tersebut telah benar-benar terjadi setelah tenggang waktu tertentu, maka baginya berlaku prinsip primair atau yang juga lebih dikenal dengan primum remidium. Artinya, bahwa penggunaan pidana merupakan upaya penyelesaian pertama dan terdepan terhadap kasus mengenai barang atau jasa yang ditransaksikan itu sebagaimana yang diatur dan ditentukan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini telah mendapat penegasan dalam Pasal 62 ayat (3)  UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menetapkan : “Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.” (dikursif penulis) Ada beberapa pasal dalam KUHP yang mengatur mengenai hal tersebut, antara lain : Pasal 204, Pasal 205, Pasal 338, Pasal 351, Pasal 359, Pasal 360, dan lain-lain. Sementara itu, prinsip subsidair atau yang terkenal dengan nama lain ultimum remidium berlaku terhadap sengketa konsumen yang berawal dari :(a) barang atau jasa yang ditransaksikan memang nyata-nyata berbahaya, tapi ternyata hanya menimbulkan kerugian finasial;(b) barang atau jasa yang ditransaksikan berpotensi berbahaya menimbulkan kerusakan fisik disebabkan cacat-cacatnya, tapi ternyata cacat-cacat tersebut diketahui sejak dini sehingga kerusakan fisik tidak pernah terjadi;(c) barang atau jasa yang ditransaksikan berpotensi berbahaya  menimbulkan kerugian finansial disebabkan cacat-cacatnya, jika ternyata kerugian finansial tersebut telah benar-benar terjadi setelah tenggang waktu tertentu; atau (d) barang atau jasa yang ditransaksikan berpotensi berbahaya  menimbulkan kerugian finansial disebabkan cacat-cacatnya, tapi ternyata cacat-cacat tersebut diketahui sejak dini sehingga kerugian finansial tidak pernah  terjadi. Hal ini berarti, bahwa penggunaan pidana merupakan upaya penyelesaian yang terakhir setelah upaya penyelesaian lainnya tidak efektif, kecuali sungguh-sungguh dalam diri pembuat tindak pidana (dader) terdapat kesalahan. Penegasan ini tersirat dari ketentuan Pasal 19 ayat (4) jo. Pasal 45 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 19 ayat (4) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengatur : “Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya kesalahan.” Selanjutnya Pasal 45 ayat (3) menetapakan : “Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggungjawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.” (dikursif penulis).  Dengan demikian, domain masing-masing institusi dalam sistem peradilan pidana sudah menemukan titik terang berkaitan dengan sengketa konsumen, khususnya BPSK. Di bawah berikut akan diterangkan lebih teperinci.         Badan   Penyelesaian   Sengketa   Konsumen   (BPSK)   sebagai   Pelapor   dan Quasi-PenyelidikBPSK merupakan badan khusus yang diberi tugas dan wewenang untuk terlibat dan turut serta dalam penyelesaian sengketa konsumen, baik menyangkut (1)  penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, (2) penyelesaian sengketa konsumen melalui gugatan ganti-rugi dan/atau gugatan konsumen maupun (3) penyelesaian sengketa melalui sarana pidana. Sepanjang berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui sarana pidana, Pasal 52 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan tugas dan wewenang, antara lain :1. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;2. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;3. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g (baca :pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen) dan huruf h (baca : saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini) yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; serta 4. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, dan/atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.        Khususnya bagi BPSK Daerah Tingkat II, ia hanya bertugas dan berwenang menyelesaian sengketa di luar pengadilan. Hal ini tersurat dalam Pasal 49 ayat (1)   jo. Pasal 53.  Pasal 49 ayat (1) menetapkan, sebagai berikut : UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen “Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.” Sementara Pasal 53 mengatur, sebagai berikut : “Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesiaan sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.” (dikursif penulis) Sungguhpun tugas dan wewenang BPSK Daerah Tingkat II terbatas, tetapi tidak tertutup kemungkinan putusannya dapat dijadi dasar dan bahan penelitian dan pemeriksaan lebih lanjut guna penyelesaian sengketa melalui sarana pidana. Oleh karena itu, pembahasan selanjutnya memfokuskan pada : 1. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai PelaporBerkenaan dengan sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip primair, maka BPSK hanya bertindak sebagai pelapor. Penanganan sengketa konsumen ini sepenuhnya menjadi tugas dan wewenang penyidik umum/polri, yaitu : pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Pelaporan akan dilakukan BPSK kepada penyidik umum/polri, setelah sebelumnya ia memperoleh informasi mengenai sengketa konsumen. Informasi tersebut didapat dari, antara lain :a. pengaduan  baik  tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang menyebabkan sakit, luka, cacat tetap atau kematian;b. Tertangkap tangan; dan  c. Keterangan dari media massa, baik media cetak maupun media elektronik  tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen yang menyebabkan sakit, luka, cacat tetap atau kematian. Sebelum Informasi di atas dilaporkan kepada penyidik umum/polri, BPSK harus melakukan verifikasi terlebih dahulu. Tata cara pelaporan yang dilakukan BPSK dan penyidikan yang dilaksanakan penyidik umum/polri merujuk pada KUHAP jo. UU No. 8 Tahun 1981.   2. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai Quasi-Penyelidik   Untuk sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair, maka BPSK dapat  bertindak sebagai quasi-penyelidik yamg melakukan quasi-penyelidikan. Hal ini tersirat dari ketentuan Pasal 55 jo. Pasal 56 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 55 menentukan, bahwa “Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.” Kemudian, Pasal 56 ayat (1) mengatur : “Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.” Pasal 56 ayat (3) menetapkan, sebagai berikut : “Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.” Akhirnya,  Pasal 56 ayat  (4) menggariskan, bahwa apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.                 Lebih jelas lagi, Pasal  56 ayat  (5) menetapkan: “Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.”Menurut pendapat penulis, Penyerahan putusan badan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK kepada penyidik harus dipilih dan dipilah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi sengketa antar wewenang antara penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dengan penyidik umum/polri.Perlu diketahui, bahwa hubungan peyidik umum/polri dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu, sebagai berikut: (1)   PPNS tertentu dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah  koordinasi dan pengawansan penyidik umum/polri; (2) untuk kepentingan penyidikan, penyidik umum/polri memberikan petunjuk dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan kepada PPNS tertentu; (3) PPNS tertentu, melaporkan    adanya tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik umum/polri; (4) PPNS tertentu menyerahkan hasil pentidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik umum/polri; dan (5) Dalam hal PPNS tertentu menghentikan penyidikan, segera memberitahukan kepada penyidik umum/polri dan penuntut umum (Abdul Hakim G. Nusantara et. Al, 1986: 191) Pemilihan dan pemilahan penyerahan putusan didasarkan patokan-patokan, antara lain :a.       Apakah Sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair tersebut termasuk dalam lingkungan instansi pemerintah yang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen ? dan b.       Apakah lingkungan instansi pemerintah yang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan konsumen itu memiliki pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan (PPNS) ? Jika patokan-patokan itu tidak terpenuhi, maka BPSK menyerahkan putusannya kepada penyidik umum/polri. Sebaliknya, apabila patokan-patokan itu terpenuhi, maka sepatutnya BPSK menyerahkan putusan itu kepada PPNS, seperti di lingkungan Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Departemen Kesehatan, dan lain-lain. Adapun Pasal 59 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan wewenang kepada PPNS      3. Pembuktian dalam Tindak Pidana di Bidang Konsumen Berlaku Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik (Omkering van Bewijslast). Selain hal-hal yang telah diuraikan di muka, perlu kiranya dijelaskan secara singkat mengenai pembuktian. Meskipun pembuktian tidak berkaitan langsung dengan keterlibatan BPSK tetapi tetap merupakan bagian dari sistem peradilan pidana. Di dalam tindak pidana di bidang konsumen, ada 2 (dua) pembuktian yang berlaku. Pertama, pembuktian berdasar atas perundang-undangan secara negatif (Negatieve Wettelijke Bewijs) untuk sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip primair. Kedua, pembebanan pembuktian terbalik terhadap sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair.Kedua pembuktian tersebut memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya, konklusi kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinan hakim dan alat bukti minimal yang ditetapkan undang-undang. Sedangkan perbedaannya, yakni dalam pembuktian berdasar atas perundang-undangan secara negatif beban dan tanggung jawab pembuktian diserahkan sepenuhnya kepada jaksa/penuntut umum sebagai pihak yang menuduh pelaku usaha melakukan kesalahan, sebaliknya dalam pembebanan pembuktian terbalik beban dan tanggung jawab dipikul oleh pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa/penuntut umum untuk melakukan pembuktian. Hal ini berdasar atas ketentuan Pasal 22 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menetapkan : Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian PenutupBerdasarkan uraian di atas, maka dapat diringkas pembahasan mengenai keduddukan dan peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Sistem Peradilan Pidana, sebagai berikut :1. Sengketa konsumen bermula dari barang atau jasa yang ditransaksikan “tidak laik”. Berkaitan dengan upaya penyelesaian menggunakan sarana pidana, sengketa konsumen tersebut dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yakni :a. Sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip primair; dan b. Sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair. 2. Untuk sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip primair, maka BPSK hanya bertindak sebagai pelapor. Sementara, terhadap sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair, maka BPSK dapat  bertindak sebagai quasi-penyelidik yamg melakukan quasi-penyelidikan. Di dalam tindak pidana di bidang konsumen, ada 2 (dua) pembuktian yang berlaku. Pertama, pembuktian berdasar atas perundang-undangan secara negatif (Negatieve Wettelijke Bewijs) untuk sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip primair. Kedua, pembebanan pembuktian terbalik terhadap sengketa konsumen yang baginya berlaku prinsip subsidair. Daftar PustakaAbdul Hakim G. Nusantara et. al., 1986, KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Peraturan-peraturan Pelaksana, Jakarta : Djambatan.   Alexander, Larry and Emily Sherwin, 2001, The Rule of Rules : Morality, Rules, and the Dilemmas of Law, Durham : Duke University Press. Andi Hamzah, 1987, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.  Alpert, Geoffrey P., 1985,The American System of Criminal Justice, California : Sage Publications Inc.,  Loebby Loqman, 2002, HAM (Hak Asasi Manusia) dalam HAP (Hukum Acara Pidana), Jakarta : Datacom  Meier, Robert E, 1989, Crime and Society, Massachusetts :Allyn and Bacon.Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung : Binacipta.    ---------------------Budi Parmono, SH.MH., penulis adalah dosen Fakultas Hukum Unisma

Tidak ada komentar: