1. TELAH
TERJADI TRANSAKSI ANTARA KONSUMEN DE
NGAN DEALER KENDARAAN,
SISTEM PEMBAYARAN
TUNAI.
2. DEALER
MENGELUARKAN FAKTUR TANDA PELUNA
SAN UNTUK MENGURUS
STNK DAN
BPKB
3. SAMSAT
MENERBITKAN STNK & BPKB KENDARAAN.
4. PEMILIK ADALAH
YANG NAMANYA TERTERA DI BPKB
5. LEMBAGA PEMBIAYAAN AKAD KREDIT DENGAN
KONSUMEN
6. PERJANJIAN
KREDIT DIBAWAH TANGAN TIDAK DI
HADAPAN NOTARIS DAN TIDAK
DIDAFTARKAN DI
DEPKUMHAM (UU No.42 Tahun 1999)
7. PERJANJIAN
KREDITNYA TIDAK DIBUAT DIHADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA
YANG SAH YANG DITETAPKAN OLEH UNDANG -UNDANG (NOTARIS) SERTA
TIDAK DIDAFTARKAN DI DEPKUMHAM
(UU.NO.42 Tahun 1999)
PERJANJIAN KREDIT YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN
TERBUKTI MELANGGAR
8 LARANGAN KETENTUAN PENCANTUMAN
KLAUSULA BAKU BAP V PASAL 18
AYAT 1 DAN AYAT 2 UNDANG-UNDANG
NO.8 TAHUN 1999 TENTANG
PERLINDUNGAN
KONSUMEN. KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang
melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan. Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999Tentang Jaminan Fidusia. Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia
yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan?
Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara
pihak-pihak dimana
pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang
ditetapkan oleh undang-undang
(notaris,). Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik
yang memiliki nilai
pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang
dibuat oleh atau di
depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki
kekuatan pembuktian
sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh
para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan.
Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan
para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya
di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan
lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang.
Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat yang berwenang. Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank
(bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen
(consumer
finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka
umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan
fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.
Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang
diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan
konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia.
Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda mili debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia.Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.
Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjamdalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan
keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.
AKIBAT HUKUM
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat
jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban
sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak se-bagian milik debitor dan sebagian milik kreditor• Apalagi jika eksekusi
tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan
pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan
Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang - Undang
Hukum Perdata dan dapat digugat ganti kerugian.
Dalam konsepsi hukum pidana,
eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal
368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancamanperampasan.
Pasal ini menyebutkan :
1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
secara melawan hukum, memaksa seorang dengan
kekerasan atau ancaman
kekerasan untuk memberikan barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian
adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau
supaya membuat hutang maupun
menghapuskan piutang, diancam karena
pemerasan dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan.
2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua,
ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi
ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan
mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut
sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian
dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi
tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.
3. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain
dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan
hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat
hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara
kreditor dan debitor. Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek
fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat
dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena
tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.
4.
Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia
di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana
menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang
sesuatu yang seluruhnya atau seba gian
adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling
lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus
rupiah”.
• Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa
jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut
menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata
oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing
pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh
maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya
yang tidak sedikit.
• lancar saja. Menurut penulis, hal ini
terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor
sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih
rendah.
• Kelemahan ini termanfaatkan oleh
pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank
yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Penulis
juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak
sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan
pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak
didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.
• Bahwa asas perjanjian “pacta sun
servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak
yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan
menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang
memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan
eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan
perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga
turunnya putusan pengadilan.
• Inilah pilihan yang prosedural hukum
formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang
dikandungnya. Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau
para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti
dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih
mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua
pihak.
Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti
dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan
ketertiban hukum adalah penting.
• memang sekarang ini banyak sekali
eksekusi yang dilakukan oleh pihak pembiayaan kendaraan bermotor terhadap
konsumen kredit sepeda motor/mobil yang menunggak angsurannya, padahal tindakan
mereka tersebut adalah ilegal karena mereka tidak mempunyai hak eksekutorial
akibat dari tidak terdaftarnya perjanjian jaminan fidusia antara konsumen dgn
perusahaan pembiayaan. hal ini sudah lama berlangsung sampai sekarang tanpa
adanya tindakan yang diambil dari pihak pemerintah sedangkan dari pihak
konsumen mereka kebanyakan tidak tahu apakah perjanjian jaminan fidusia yg
mereka tanda tangani tsb tidak didaftarkan. seharusnya eksekusi ilegal tersebut
mendapat sanksi dari aparat penegak hukum karena sudah diatur dalam UU
No.42/1999 ttg jaminan fidusia.