Minggu, 08 April 2012

Mendag Diminta Siapkan Calon Anggota BPKN


DPR tidak menginginkan kekosongan keanggotaan seperti yang terjadi pada KPPU terulang.
DPR minta Mendag Diminta Siapkan Calon Anggota BPKN periode 2012-2015. 
Komisi VI DPR meminta Menteri Perdagangan Gita Wirjawan segera menyiapkan calon anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk periode 2012-2015. Komisi yang menggawangi masalah perdagangan ini khawatir akan terjadi kekosongan keanggotaan, mengingat anggota yang ada saat ini akan habis masa kerjanya dalam waktu delapan bulan.

Wakil Ketua Komisi VI Aria Bima mengatakan, masa bakti anggota BPKN akan berakhir kurang dari satu tahun lagi. Dia berharap Gita Wirjawan segera melakukan seleksi bagi calon anggota berikutnya. “Masa tugas anggota BPKN periode 2009-2012 tinggal hitungan bulan. Jangan sampai terjadi kekosongan keanggotaan akibat habisnya masa kerja anggota yang lama,” ujarnya, Selasa (7/2).

Menurut Aria, pihaknya telah menerima surat tembusan ihwal usulan penghentian dan pengangkatan anggota BPKN tersebut. Oleh sebab itu, Komisi VI meminta Mendag agar secepatnya mengagendakan pemilihan calon anggota BPKN yang baru. Dia mengingatkan bahwa proses seleksi akan memakan waktu yang cukup panjang.

Seperti diketahui, BPKN dibentuk berdasarkan amanat UUNo 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan
 PP No 57 Tahun 2001 tentanng BPKN. Lembaga ini bertugas memberi saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait upaya perlindungan konsumen di Indonesia.

Sesuai Pasal 35
 UU Nomor 8 Tahun 1999, BPKN terdiri sekurang-kurangnya 15 anggota dan sebanyak-banyaknya 25 anggota, dengan seorang ketua dan wakil ketua merangkap anggota. BPKN diangkat dan diberhentikan presiden, atas usul menteri perdagangan, setelah dikonsultasikandengan DPR.

Adapun salah satu prestasi BPKN ialah menyusun Garis Besar Kebijakan dan Strategi Perlindungan Konsumen Nasional yang digunakan sebagai acuan nasional dalam mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.

Sekadar diketahui, masalah kekosongan keanggotaan sempat terjadi di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hingga berakhirnya masa tugas anggota yang lama, pemerintah belum juga menyerahkan nama-nama calon anggota untuk periode 2011-2016 ke DPR.

Ujungnya, presiden mengeluarkan Keppres Nomor 71/P Tahun 2011 tanggal 12 Desember 2011, yang memutuskan untuk memperpanjang masa jabatan Komisioner KPPU hingga dikeluarkannya Keppres tentang penetapan keanggotaan KPPU masa jabatan tahun 2011-2016.  

Pemerintah sendiri telah menyerahkan 19 nama calon anggota KPPU kepada Komisi VI. Akan tetapi, jumlah tersebut tidak sesuai dengan
 Keppres No 75 Tahun 1999 tentang KPPU. Pasal 14 ayat (2) menyatakan, calon yang diajukan pemerintah harus dua kali lipat dari jumlah yang ditetapkan.

“Bila yang akan ditetapkan 13 orang, maka calonnya sebanyak 26 orang. Artinya, pemerintah perlu memberikan 7 nama lagi kepada DPR,” kata Wakil Ketua Komisi VI lainnya, Erik Satrya Wardhana.

Rencananya,
 fit and proper test calon anggota KPPU akan dilaksanakan Januari lalu oleh Komisi VI. Tapi itu tadi, setelah mendengar pendapat pakar dan mengacu pada Keppres Nomor 75 Tahun 1999, agenda ini diundur sampai pemerintah memenuhi ketentuan yang dimaksud.

“Namun itu tidak jadi masalah karena masa tugas komisioner lama yang berakhir Desember tahun lalu sudah diperpanjang presiden,” tambah Erik. ( Hukum Online )

Senin, 05 Maret 2012

Bedah Kasus & Gelar Perkara




  1. TELAH TERJADI TRANSAKSI ANTARA KONSUMEN DE
             NGAN DEALER  KENDARAAN, SISTEM PEMBAYARAN   
             TUNAI.
         2. DEALER MENGELUARKAN FAKTUR TANDA PELUNA
             SAN UNTUK MENGURUS 
STNK DAN BPKB  
             KENDARAAN.
         3. SAMSAT MENERBITKAN STNK & BPKB KENDARAAN.
         4. PEMILIK ADALAH YANG NAMANYA TERTERA DI BPKB
         5. LEMBAGA PEMBIAYAAN AKAD KREDIT DENGAN  
              KONSUMEN
         6.  PERJANJIAN KREDIT DIBAWAH TANGAN TIDAK DI  
              HADAPAN NOTARIS DAN TIDAK DIDAFTARKAN DI
              DEPKUMHAM (UU No.42 Tahun 1999)
       7.  PERJANJIAN KREDITNYA TIDAK DIBUAT DIHADAPAN PEJABAT PEMBUAT AKTA
 YANG SAH YANG DITETAPKAN OLEH  UNDANG -UNDANG (NOTARIS) SERTA 
TIDAK DIDAFTARKAN DI DEPKUMHAM (UU.NO.42 Tahun 1999)
             PERJANJIAN KREDIT YANG DIBUAT DIBAWAH TANGAN TERBUKTI MELANGGAR  
             8 LARANGAN KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU BAP V  PASAL 18  
             AYAT 1 DAN AYAT 2 UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG   
             PERLINDUNGAN KONSUMEN. KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU



Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
     Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor  yang                   
      melibatkan  penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik   jaminan.   Tetapi untuk  menjamin kepastian hukum bagi  kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh  notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh  sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan  Yang Maha Esa”.

                     Dengan demikian, memiliki kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999Tentang Jaminan Fidusia. Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia   yang tidak di  buatkan akta notaris dan didaftarkan  di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan? 

                     Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak  dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris,). Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik 
         yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang 
         dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki 
         kekuatan pembuktian sempurna.  Untuk akta yang dilakukan  di bawah tangan biasanya harus  diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan. 

                     Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan
         para pihak mengakui keberadaan dan isi akta  tersebut. Dalam prakteknya 
         di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dikuatkan
         lewat akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang.

                     Namun, agar akta tersebut kuat, tetap harus dilegalisir para pihak kepada pejabat  yang berwenang. Saat ini, banyak lembaga  pembiayaan (finance) dan bank 
         (bank  umum  maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen
         (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka
         umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan
         fidusia bagi objek benda jaminan fidusia.

                      Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang  bergerak yang 
         diminta konsumen (semisal motor atau mesin industri) kemudian  diatasnamakan 
   konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya  debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit)  secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi  sebagai penerima  fidusia. 

                     Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya  barang  mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda mili debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran  Fidusia.Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur.  

                       Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak  eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjamdalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan  keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
                   Fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya  tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan. Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia  dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong  desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak. 
         AKIBAT HUKUM
                  Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum  yang komplek dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan  dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak se-bagian milik debitor dan sebagian milik kreditor• Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata  dan dapat digugat ganti kerugian.

                         Dalam konsepsi hukum pidana,  eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancamanperampasan. Pasal ini menyebutkan :
            1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau  orang lain 
                secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman   
                kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian  
               adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun  
              menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling   
               lama sembilan bulan.

            2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.
               Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi   melakukan pemaksaan dan  
            mengambil barang secara  sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia.

           3. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat  terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal  yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor. Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan  dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena tidak syah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.

            4.  Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek  jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai   Pasal  372 KUHPidana menandaskan: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau seba gian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”. 

•          Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan  porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak.  Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

•          lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah  terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. 

•          Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan. Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.

•          Bahwa asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh  pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia  di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan.

•          Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.   Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia.  Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak.  
Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting. 


•          memang sekarang ini banyak sekali eksekusi yang dilakukan oleh pihak pembiayaan kendaraan bermotor terhadap konsumen kredit sepeda motor/mobil yang menunggak angsurannya, padahal tindakan mereka tersebut adalah ilegal karena mereka tidak mempunyai hak eksekutorial akibat dari tidak terdaftarnya perjanjian jaminan fidusia antara konsumen dgn perusahaan pembiayaan. hal ini sudah lama berlangsung sampai sekarang tanpa adanya tindakan yang diambil dari pihak pemerintah sedangkan dari pihak konsumen mereka kebanyakan tidak tahu apakah perjanjian jaminan fidusia yg mereka tanda tangani tsb tidak didaftarkan. seharusnya eksekusi ilegal tersebut mendapat sanksi dari aparat penegak hukum karena sudah diatur dalam UU No.42/1999 ttg jaminan fidusia.