Senin, 28 November 2011

Opini
ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
TINJAUAN SINGKAT UU NOMOR 8 TAHUN 1999-L.N. 1999 NO. 42
Az. Nasution, S.H

1.                                 Pengantar
Apakah uu tentang Perlindungan Konsumen memang dibutuhkan bangsa ini? Apakah perundang-undangan yang ada tidak cukup untuk tujuan yang ingin dicapai UU ini? Apakah falsafahnya? Apakah rationya? Dalam ilmu perlindungan konsumen, terdapat setidak-tidaknya tiga pengertian tentang konsumen. Perundang-undangan umum yang ada tidak menggunakan arti yang sama dengan konsumen yang dimaksudkan. Perlindungan hukum yang disediakan, prosesnya tidak cepat, tidak sederhana dan berbiaya tinggi.
Perkembangan social-ekonomi dan teknologi pun telah berubah jauh dari saat-saat perundang-undangan umum itu disusun. Karena itu memang benar UU khusus tentang Perlindungan Konsumen merupakan kebutuhan mutlak ralyat Indonesia.
Republik Indonesia menganut falsafah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, UU tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8 Tahun 1999; L.N. Tahun 1999 No. 42) sebagai produk dari Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, terikat pada pandangan hidup dan dasar negara itu. Falsafah hukum perlindungan konsumen juga adalah Pancasila.
Guna memenuhi butir-butir falsafah tersebut, UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan, bahwa perlindungan konsumen Indonesia berasaskan “manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan, serta kepastian hukum” (pasal 2 dan penjelasan pasal).
Dari hal-hal terurai di atas, dihubungkan dengan pengalaman menjalankan perlindungan konsumen selama ini, kiranya dapat disimpulkan bahwa ratio dari adanya UU Perlindungan Konsumen adalah :

A.      Menyeimbangkan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha; dan Opini
B.      Mendorong pelaku usaha untuk bersikap jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. Penyeimbangan daya tawar konsumen terhadap pelaku usaha, sejalan dengan sikap jujur dan bertanggung jawab pelaku usaha tersebut. Berbagai praktek niaga yang tidak jujur dan mengabaikan tanggung jawab, kecuali tanggung jawab pelaku usaha terhadap pemegang sahamnya, merupakan pengalaman umum dimana pun di muka bumi ini.

2.                                 Sejarah Perkembangan UU Perlindungan Konsumen di Indonesia
Dari masa pembahasan RUU Perlindungan Konsumen di DPR terlihat seakanakan waktu yang dugunakan untuk pengesahan RUU menjadi UU hanya berkisar 3-4 bulan saja (Desember 1998 – 30 Maret 1999). Padahal sesungguhnya berbagai usaha dengan “memakan waktu, tenaga dan pikiran yang banyak” telah dijalankan berbagai pihak yang berkaitan dengan pembentukkan hukum dan perlindungan konsumen. Baik dari kalangan pemerintah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, YLKI, bersama-sama dengan perguruan-perguruan tinggi, yang merasa “terpanggil”
untuk mewujudkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini. Berbagai kegiatan tersebut berbentuk pembahasan ilmiah/non ilmiah, seminar-seminar, penyusunan naskah-naskah penelitian, pengkajian dan dan naskah akademik rancangan undang-undang (perlindungan konsumen). Sekedar untuk mengingat secara histories, beberapa diantara kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :

a.       Seminar Pusat Studi Hukum dagang, Fakultas Hukum Universitas Indonesia tentang Masalah Perlindungan Konsumen (15-16 Desember 1975);
b.       Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, Penelitian tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia (proyek tahun 1979-1980).
c.       BPHN - Departemen Kehakiman, Naskah Akademis Peraturan Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen (proyek tahun 1980-1981)
d.       Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Perlindungan Konsumen Indonesia, suatu sumbangan pemikiran tentang rancangan UU Perlindungan Konsumen (tahun 1981);
e.       Departemen Perdagangan RI bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, RUU tentang Perlindungan Konsumen (tahun 1997), dan
f.       DPR RI, RUU Usul Inisiatif DPR tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen, Desember 1998.

Selain pembahasan-pembahasan di atas, masih terdapat berbagai lokakarya-lokakarya, penyuluhan-penyuluhan, seminar-seminar di dalam dan luar negeri berkenaan dengan perlindungan konsumen atau tentang produk konsumen tertentu dari berbagai aspeknya. Tidak pula dapat dilupakan berbagai kegiatan perlindungan konsumen, dengan “pahit manisnya” reaksi masyarakat, kalangan pelaku usaha dan pemerintah, yang dijalankan oleh YLKI dihampir seluruh Indonesia. Akhirnya, didukung oleh perkembangan politik dan ekonomi di Indonesia (1997-1999), semua kegiatan tersebut di atas berujung pada disetujuinya UU tentang Perlindungan Konsumen oleh DPR RI dan disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 20 April 1999. undang-undang ini (pasal 65) berlaku efektif setahun kemudian (20 April 2000). Untuk hadirnya suatu UU tentang Perlindungan Konsumen yang terdiri dari 15 Bab dan 65 pasal, ternyata dibutuhkan waktu tidak kurang dari 25 tahun sejak gagasan awal tentang undang-undang ini dikumandangkan (1975-2000). Tak dapat disangkal, sebagai hasil kerja buatan manusia, terdapat beberapa hal yang kurang lengkap atau kurang sempurna dari undang-undang ini (selanjutnya merupakan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional – BKPN). Sekalipun demikian, ia merupakan suatu kebutuhan seluruh rakyat Indonesia yang kesemuanya adalah konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan atau jasa konsumen.
Apalagi pikiran glabalisasi telah melanda dunia. Keterbukaan pasar saat ini dan kedudukan konsumen yang lebih lemah disbanding dengan pelaku usaha, maka kebutuhan perlindungan konsumen tersebut merupakan suatu “conditio sine qua non”.

3.                                 Perlindungan Konsumen
Apakah yang dimaksudkan dengan perlindungan konsumen? Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, LN Tahun 1999 No. 42, TLN. No. 3821, selanjutnya disebut UU, menegaskannya sebagai:
“Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen” (Pasal 1 butir 1) Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab (bandingkan konsideran UU, huruf d). tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen (pasal 3) umumnya dapat dibagi dalam tiga bagian utama, yaitu:
a.       memberdayakan konsumen dalam memilih, menentukan barang dan/atau jasa kebutuhannya dan menuntut hak-haknya;
b.       menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat usnur-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi dan akses untuk mendapatlkan informasi itu (pasal 3 huruf d);
c.       menumbuhkan kesdaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab (pasal 3 huruf e)

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah, adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu samapi dengan tempat pemakaman, dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/atau jasa kenutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut. Pemberdayaan konsumen itu adalah dengan meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandiriannya melindungi diri sendiri sehingga mampu mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan menghindari berbagai ekses negatif pemakaian, penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa kebutuhannya. Disamping itu, juga kemudahan dalam proses menjalankan sengketa konsumen yang timbul karena kerugian yang timbul karena kerugian hartan bendanya, keselamatan/kesehatan tubuhnya, penggunaan dan/atau pemanfaatan produk konsumen. Perlu diingat bahwa sebelum ada UU ini, “konsumen umumnya lemah dalam bidang ekonomi, pendidikan dan daya tawar”[2], karena itu sangatlah dibutuhkan adanya UU yang melindungi kepentingan-kepentingan konsumen yang selama ini terabaikan.

4.                                 Beberapa Pengertian
Beberapa istilah yang digunakan undang-undang dan kaitan hubungannya satu dengan yang lain, kiranya perlu dikemukakan terlebih dahulu. Beberapa diperkirakan kurang jelas maknanya, sedang yang lainnya dianggap cukup jelas sehingga tidak memerlukan penjelasan. Istilah-istilah itu antara lain adalah:
a.                                 Konsumen
Konsumen manakah yang ingin dilindungi oleh UU ini? Pengetian konsumen sesungguhnya dapat terbagi dalam tiga bagian, terdiri atas:

1.       konsumen dalam arti umum, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk tujuan tertentu.
2.       konsumen antara, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa untuk diproduksi (produsen) menjadi barang /jasa lain atau untuk memperdagangkannya (distributor), dengan tujuan komersial. Konsumen antara ini sama dengan pelaku usaha; dan
3.       konsumen akhir, yaitu pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan/atau jasa konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Konsumen (akhir) inilah yang dengan jelas diatur perlindungannya dalam UU Perlindungan Konsumen tersebut. Selanjutnya apabila digunakan istilah konsumen dalam UU dan makalah ini, yang dimaksudkan adalah konsumen akhir.

Undang-undang ini mendefinisikan konsumen (pasal 1 angka 2) sebagai berikut:
Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Orang dimaksudkan dalam undang-undang ini wajiblah merupakan orang alami dan bukan badan hukum. Sebab yang dapat memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, hanyalah orang alami atau manusia. Bandingkan dengan kerajaan Belanda yang juga memberikan pengertian pada istilah bersamaan (konsument). Pengertian konsumen dalam perundang-undangan Belanda menegaskannya sebagai “een natuurlijk persoon die niet handelt in de uitoefening van zijn beroep of bedriif”[3] (orang alami yang bertindak tidak dalam profesi atau usahanya).
Termasuk pengertian konsumen pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat ini antara lain adalah: pembeli barang/jasa, termasuk keluarga dan tamu-tamunya, peminjam, penukar, pelanggan atau nasabah, pasien dsb. (perhatikan beda pengetian istilah-istilah ini dalam UU perlindungan konsumen dengan dalam KUHPerdata, KUHPidana., UU No. 5 Tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat umum).

b.                                 Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah istilah yang digunakan pembuat undang-undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Siapakah mereka? Ikatan sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI)[4] menyebutempat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi; tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut terdiri dari           :
1.       kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan. Seperti perbankan, usaha leasing; “tengkulak”, penyedia dana lainnya, dsb.
2.       produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku, bahan tambahan/penolong dan bahan-bahan lainnya). Mereka dapat terdiri dari orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa ngkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dsb.
3.       distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, took, supermarket, hyper-market, rumah sakit, klinik, “warung dokter”, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dsb.

Khusus berkaitan dengan pelayanan rumah sakit/klinik atau pelayanan jasa kesehatan di “warung dokter”, terdapat perbedaan opini menarik, yang mendalilkan bahwa perikatan pelayanan kesehatan tersebut bukan suatu “resultaat verbintennis” (perikatan dengan usaha keras), yang membedakan pelayanan kesehatan ini dari perdagangan pada umumnya. Sekalipun demikian saya berpendapat, bahwa apapun sifat perikatan yang terbentuk, sepanjang menimbulkan kerugian atas diri (harta benda, tubuh maupun jiwa) yang dilayani (pasien atau konsumen), ia tetap merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 8 tahun 1999 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Tentu saja dalam pemeriksaan kasusnya, dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku untuk itu (a.l. UU Nomor 23 Tahun 1992, dll) dan mengingat pula sumpah jabatan/Kode Etik Kedokteran yang berlaku.
Apakah tidak setiap perilaku pelayanan kesehatan yang mengakibatkan tertinggalnya kateter dalam tubuh, atau tertukarnya kartu pelayanan kesehatan seseorang dengan orang lain yang berakibat terganggunya kesehatan seseorang, tidak saja melanggar UU tetapi juga melanggar kode etik kedokteran?
Juga ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa pelayanan rumah sakit atau dokter berbeda dengan pekerjaan pedagang yang “mencari untung”. Pendapat ini benar, tetapi bagaimana pandangan masyarakat umum? Perbedaan itu dipahami “sangat tipis” oleh masyarakat. Sebab tarif yang ditetapkan sementara pelayan  kesehatan itu, apalagi sekarang ini, tidak berbeda jauh dengan perkembangan tarif/harga produk konsumen pada umumnya. Pertanyaannya adalah, apakah dengan demikian sesungguhnya penetapan tariff layanan oleh pelayan kesehatan (rumah sakit dan/atau dokter) tidak mengikuti trend pasar juga? Konsumen pada umumnya menganggap tidak berbeda satu dengan yang lain.

c.                                 Istilah Pelaku Usaha Dalam Bidang Periklanan
Menurut kalangan periklanan, terdapat beberapa istilah pelaku usaha periklanan[5], yaitu antara lain adalah sebagai berikut:
1.       Pengiklan, yaitu badan usaha yang memesan iklan dan membayar biaya pembuatannya untuk promosi/pemasaran produknya dengan menyampaikan pesan-pesan dan berbagai informasi lain tentang produk tersebut, kepada perusahaan iklan;
2.       Perusahaan Periklanan, yaitu perusahaan atau biro iklan yang yang merancang, membuat atau menciptakan iklan berdasarkan pesan atau informasi yang disampaikan pengiklan padanya, dan
3.       Media Periklanan, yaitu media non-elektronik (Koran, majalah, dst) atau media elektronik (seperti radio, televisi, komputer, dst) yang digunakan untuk menyiarkan dan/atau menayangkan iklan-iklan tertentu.

Ketiga unsur periklanan tersebut, semua atau masing-masing adalah pelaku usaha periklanan yang bertanggung jawa atas iklan yang dibuat dan akibat-akibat yang ditimbulkannya (pasal 20). Tergantunglah bagaimana BPSK/hakim di pengadilan meletakkan beban tanggung jawab atas pelaku usaha yang mana dalam kasus yang dihadapkan kepada mereka. Salah satu pegangan yang dapat digunakan adalah adanya tanda setuju dari salah satu pelaku usaha pada draft iklan yang kemudian disirakan/ditayangkan. Sekalipun demikian tergantunglan bagaimana penilaian hakim dalam perkara yang dihadapkan kepadanya atas suatu perbuatan periklanan yang menimbulkan kerugian atas konsumen tersebut.

d.                     Produk Konsumen
Apakah yang dimaksudkan dengan produk konsumen? Sayangnya undang-undang Perlindungan Konsumen tidak menegaskan pengertian tentang istilah ini. Dalam undang-undang hanya disebut tentang barang dan/jasa (lihat pasal 1 angka 4 dan 5). Mengutip pengalaman praktek sepanjang kurang lebih 27 tahun dan pengaturan di negara lain, saya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan produk konsumen adalah barang dan/atau jasa yang umumnya digunakan konsumen untuk memenuhi kebutuhan hidup (konsumen dan keluarga) dan tidak untuk diperdagangkan. Kebutuhan akan pangan, sandang, papan, alat-alat mekanik atau elektronik, dan jasa perbankan, jasa angkutan (darat, laut, udara, dll), pelayanan kesehatan, asuransi rekreasi, jasa pemakaman, dan sebagainya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan, merupakan beberapa contoh dari ribuan contoh kebutuhan hidup manusia atas produk konsumen tersebut.
Diantara negara-negara “maju” yang berpendirian sama antara lain adalah Amerika serikat, yang menentukan batasan consumer product sebagai: “……which is normally used for personal, family or household purposes.”[6] (“….yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya…”). Selanjutnya negara Australia mendefinisikannya sebagai “…normally acquired for personal, familiy, or household purposes”[7] (“…..umumnya digunakan untuk (memenuhi) kebutuhan pribadi , keluarga atau rumah tangganya….”). e. Istilah-istilah Pemakai, Pengguna, Dan/atau Pemanfaat  UU Perlindungan Konsumen menggunakan istilah (kata-kata) yang hampir
bersamaan artinya. Pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat sering diartikan  bersamaan dengan kaitan apapun. Sayang UU tidak menjelaskan arti masing-masing istilah tersebut. Dalam pembahasan penggunaan istilah-istilah ini, Tim Pakar Hukum Perlindungan Konsumen yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman sebelum UUPK disahkan DPR (1998), menyepakati penggunaan istilah-istilah untukke kegiatan secara tertentu.

•        Istilah pemakai digunakan untuk pemakaian produk konsumen yang tidak mengandung listrik atau elektronik (misalnya, pemakaian bahan pangan, bahan sandang, perumahan, dan seterusnya.
•        Istilah penggunaan ditujukan untuk penggunaan produk konsumen yang menggunakan arus listrik atau elektronik (seperti pengggunaan listrik penerangan, radio-tape, televisi, komputer dan seterusnya), sedangkan • Istilah pemanfaatan ditujukan untuk pemanfaatan produk konsumen berbentuk jasa (misalnya, pemnfaatan jasa asuransi, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa advokaat, jasa kesehatan, dan lain-lain)

f.       Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Organisasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah lembaga nonpemerintah yang didirikan khusus untuk melindungi kepentingan konsumen dari perilaku para pelaku usaha yang menjalankan kegiatannya tidak sesuai dengan hukum yang berlaku, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada harta, keselamatan tubuh maupun keamanan jiwa konsumen. Organisasi atau lembaga ini harus memenuhi persyaratan:
-         Terdaftar pada Pemerintah tingkat kabuoaten/kota; dan
-         Bergerak di bidang perlindungan konsumen sebagaimna tercantum dalam anggaran dasarnya (pasal 44 UUPK jo. Pasal 2 PP Nomor 59 Tahun 2001)

g.                                 Klausula Baku
Klausula baku atau umumnya dikenal orang sebagai perjanjian dengan syarat-syarat baku, standart contract, termuat dalam Pasal 1 angka 10, adalah:
Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu badan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen Dengan ketentuan ini, setiap syarat dalam dokumen (bon pembelian, bon parkir, tanda terima pencucian pakainan, tanda penyerahan kiriman barang, kuitansi pembayaran biaya rumah sakit/dokter dan yang sejenis), atau perjanjian (perjanjian kredit bank, perjanjian pembelian rumah, perjanjian pembelian kendaraan bermotor atau alat-alat elektronik, perjanjian asuransi, dan sejenisnya), dilarang digunakan sepanjang bertentangan dengan ketentuan termasuk Pasal 18 UUPK. Demikian pula halnya dengan klausula baku yang dicantumkan dengan letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat terbaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti (oleh konsumen), seperti huruf-hurufnya yang kecil, ditempatkan di bagiab-bagian yang sulit terlihat atau penyusunan kalimatnya yang sulit dipahami (Pasal 18 ayat 2). Berbagai klausula baku tersebut batal demi hukum (Pasal 18 ayat 3) terhitung tanggal 20 April 2000. klausula baku yang dilarang antara lain adalah larangan pengalihan tanggung jawab, penolakan penyerahan barang atau uang kembali, pernyataan tunduknya konsumen pada aturan-aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, letak atau bentuknya sulit terbaca atau dimengerti. Pelaku usaha, siapapun dia wajib menyesuaikan klausula bakunya dengan ketentuan UU Perlindungan Konsumen (Pasal 18 ayat 4). Berkaitan dengan klausula baku ini, BPSK termasuk salah satu badan yang berwenang mengawasinya.

h.                                 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Atau Peradilan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang dibentuk untuk menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen (Pasal 1 angka 12 berhubungan dengan bab X). BPSK didirikan di setiap daerah tingkat II dan menangani /menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara mediasi.

Tidak ada komentar: