Kamis, 02 Juni 2011

Pungutan di Sekolah dalam Perlindungan Konsumen


Menarik karena tulisan yang berisi tentang keprihatinan atas maraknya praktik pungutan di sekolah justru ditulis oleh seseorang yang berprofesi sebagai guru. Tulisan tersebut lebih merupakan imbauan moral kepada pihak guru/sekolah untuk menghentikan praktik pungutan di sekolah.
Imbauan tersebut sangatlah benar. Memang harus demikian. Namun, mungkin perlu ditambahkan bahwa kepedulian atas praktik pungutan tersebut juga mutlak harus ada pada pihak (orangtua) murid dan tentu juga pemerintah. Dorongan untuk timbulnya kepedulian pada pihak (orangtua) murid lebih tepat bila mempergunakan perspektif perlindungan konsumen.
Hubungan antara sekolah dan murid harus dipandang sebagai hubungan antara produsen dan konsumen. Interaksi antara sekolah dan murid pada saat ini terasa semakin bersifat transaksional. Sebagai produsen, sekolah mempunyai sejumlah hak dan kewajiban. Begitu pun sebaliknya, pada pihak murid sebagai konsumen. Sekolah mempunyai kewajiban utama, yaitu menyelenggarakan proses belajar-mengajar yang baik. Atas kewajiban yang telah dan akan dilaksanakannya, sekolah mempunyai hak untuk memungut sejumlah uang dari murid sebagaimana telah ditetapkan pada awal tahun ajaran/saat pendaftaran. Di pihak lain, murid mempunyai hak untuk mengikuti proses belajar-mengajar yang telah dipersiapkan oleh pihak sekolah. Atas hak yang telah dimilikinya, murid berkewajiban untuk membayar sejumlah uang sebagaimana telah ditetapkan oleh pihak sekolah.
Hak informasi konsumen
Sering kali pungutan-pungutan di sekolah dilakukan setelah si murid terdaftar di sekolah sampai dengan si murid lulus dari sekolah bersangkutan. Macam-macam bentuknya. Ada yang wajib, tidak sedikit pula berupa sumbangan wajib sukarela, tetapi dengan batasan minimal kesukarelaan yang telah ditetapkan sekolah. Kemungkinan adanya pungutan-pungutan selama si murid bersekolah tidak pernah diinformasikan sebelum si murid menandatangani kontrak untuk menjadi murid di sekolah tersebut. Hal yang biasa diinformasikan oleh sekolah kepada calon murid biasanya informasi tentang besarnya SPP dan uang pangkal.
Dalam perspektif perlindungan konsumen, praktik-praktik seperti diuraikan di atas sesungguhnya menunjukkan perilaku buruk (unfair behavior) dari pihak pengelola sekolah sebagai produsen yang menyediakan jasa pendidikan. Sekolah sebagai produsen pada masa prapendaftaran telah memberikan suatu informasi yang tidak jujur kepada calon murid. Ketidakjujuran tersebut adalah bahwa sekolah tidak menginformasikan perihal uang-uang apa saja yang masih harus dibayarkan si murid pada saat ia bersekolah nantinya selain uang pangkal dan SPP.
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur atas suatu produk sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf c UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan suatu hak yang penting bagi konsumen. Adanya hak informasi produk bagi konsumen, di pihak produsen menimbulkan kewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas, jujur kepada konsumen (Pasal 7 huruf b UUPK).
Informasi memegang peranan penting bagi konsumen dalam menjatuhkan pilihannya atas sesuatu barang atau jasa. Informasi yang benar, jelas, dan jujur merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum ia memutuskan untuk mengadakan atau tidak mengadakan, ataupun menunda transaksi atas produk yang dibutuhkannya.
Perlunya murid (juga orangtuanya) peduli akan hak-haknya sebagai konsumen jasa pendidikan didasarkan adanya kenyataan bahwa dalam hubungannya dengan pihak sekolah, posisi murid sering kali berada pada posisi yang lemah dan tidak berdaya. Ketidakberdayaan tersebut muncul manakala pihak murid merasa keberatan dengan kebijakan yang ditetapkan pihak sekolah, murid tidak bisa tidak terpaksa harus mematuhi kebijakan tersebut. Terpaksa harus mematuhi karena bila merasa keberatan, si murid tidak mungkin memutuskan untuk pindah sekolah (apalagi bila sekolah tersebut merupakan sekolah dengan predikat favorit/baik) sebab urusan pindah sekolah merupakan urusan yang memerlukan banyak sekali pertimbangan yang tidak ringan.
Kepedulian murid, juga orangtuanya, akan hak informasi yang benar, jelas, dan jujur sejalan dengan perubahan prinsip kehati-hatian dalam hubungan produsen-konsumen yang semula caveat emptor menjadi caveat venditor. Menurut prinsip caveat emptor (let the buyer beware), pembeli menanggung risiko atas kondisi produk yang dibelinya


Tidak ada komentar: